Anomali Curah Hujan Saat Puncak Kemarau Tahun 2021 di Sumatera Selatan

Berdasarkan pantauan BMKG Staklim Palembang hingga dasarian II Agustus 2021, wilayah Sumatera Selatan telah memasuki musim kemarau. Awal musim kemarau di sebagian besar wilayah Sumatera Selatan dimulai pada awal Juni 2021.

Sebelumnya diprakirakan bahwa puncak musim kemarau tahun ini terjadi pada bulan Agustus. Puncak musim kemarau berarti periode dimana akumulatif/total curah hujan yang turun di suatu wilayah paling kecil dibanding lainnya, dalam hal ini dalam periode 3 (tiga) dasarian.

Berdasarkan rilis BMKG Pusat dan lembaga meteorologi dunia lainnya, dinamika atmosfer memang diprakirakan menunjukkan indikasi untuk peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat. Hal ini berakibat meski musim kemarau, hujan yang turun masih cukup banyak.

Ada beberapa faktor gangguan yang memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan curah hujan di Sumatera Selatan. Peningkatan curah hujan ini menyebabkan periode musim kemarau pada beberapa dasarian di sebagian wilayah Sumatera Selatan ini bersifat Atas Normal, yaitu curah hujan lebih tinggi daripada biasanya.

Faktor gangguan yang menyebabkan masih terjadinya  hujan di musim kemarau tahun ini di antaranya adalah :

  1. IOD (Indian Ocean Dipole) atau Dipole Mode

Merupakan fenomena cuaca skala global yang berbentuk interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai antara anomali suhu muka laut perairan pantai timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera.

Sumber gambar: http://www.bom.gov.au/climate/enso/indices.shtml?bookmark=iod

Berdasarkan grafik di atas, pada minggu terakhir (update 9 Agustus – 15 Agustus 2021) nilai Indeks Dipole Mode sebesar  -0.37. Dari awal Juni 2021 nilai Indeks Dipole Mode menunjukkan nilai negatif yang menunjukkan prasyarat kondisi negatifnya (<-0,5°C). Kondisi negatif ini berarti wilayah perairan Indonesia bagian barat terutama Sumatera banyak terbentuk uap air yang pada akhirnya menambah jumlah curah hujan yang turun.

2. SST (Sea Surface Temperature) atau Suhu Muka Laut

Merupakan fenomena cuaca skala regional yang mengindikasikan bahwa terdapatnya pasokan uap air yang cukup banyak di suatu wilayah. Suatu wilayah dikatakan pasokan uap airnya cukup banyak jika anomalinya bernilai positif. Pada saat ini, wilayah perairan barat Sumatera memiliki anomali nilai suhu muka laut 0.47.

Sumber gambar: https://www.bmkg.go.id/iklim/dinamika-atmosfir.bmkg

3. MJO (Madden Julian Oscillation)

Merupakan aktivitas intra seasonal yang terjadi di wilayah tropis yang dapat dikenali berupa adanya pergerakan aktivitas konveksi yang bergerak ke arah timur dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik yang biasanya muncul setiap 30 sampai 40 hari. MJO ini termasuk dalam fenomena cuaca skala regional. Analisis pada tanggal 8 Agustus 2021 menunjukkan MJO aktif pada Fase 2 (Samudera Hindia bagian barat) dan diprediksi masih akan aktif bergerak menuju Fase 3 (Samudera Hindia bagian timur) hingga awal dasarian III Agustus 2021. Berdasarkan peta prediksi spasial anomali OLR, wilayah basah memasuki wilayah Indonesia bagian barat dan tengah pada pertengahan dasarian II Agustus hingga awal dasarian III Agustus 2021.

Sumber gambar: http://www.bom.gov.au/climate/mjo/

Berdasarkan penjelasan di atas, adanya anomali curah hujan saat puncak musim kemarau di Sumatera Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yaitu Dipole Mode Indeks negatif, Suhu Muka Laut nilai anomalinya positif, dan MJO sedang aktif di fase 2 dan 3.

Dengan penjelasan ini, perlu dipahami oleh masyarakat bahwa pada saat musim kemarau bukan berarti wilayah Sumatera Selatan tidak mendapatkan hujan sama sekali dan tidak bersenang hati terlebih dahulu ketika hujan yang turun cukup sering karena potensi penurunan curah hujan masih ada. Pemerintah daerah maupun masyarakat hendaklah untuk selalu memperhatikan kondisi lingkungan dan ketersediaan air saat musim kemarau serta tidak melakukan aktivitas pembukaan hutan dan lahan dengan cara dibakar.